Rahasia Dibalik Gelar dan Nama
Kuliah umum bersama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger
dengan tema “Integrasi nilai-nilai agama, Budaya, dan kebangsaan” ini bertempat
di komplek belakang (alun-alun kidul) dari keraton Surakarta. Kuliah umum
tersebut berlangsung pada tanggal 07 desember 2013 pada pukul 09.00 WIB. Uliah
umum tersebut dipandu langsung oleh salah satu mahasiswa Bahasa dan Sastra
Inggris fakultas Humaniora. Meski terdapat ketidak sesuaian antara waktu
pelaksaaannya dengan yang diagendkan, kami masih mendapat sambutan hangat dari
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger.
Diawal perkuliahan umum, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger
memperkenalkan diri serta memberikan penjelasan singkat mengenai nama serta
gelar yang Beliau sandang. Seperti para keturunan darah biru lainnya, Kanjeng
Gusti Pangeran Haryo Puger memiliki lebih dari satu nama. Nama kecil Beliau
adalah Gusti Raden Suryo Bandono. Beliau menjelaskan dengan detail
masing-masing kata dati namanya tersebut. ‘Gusti’, gusti disini memiliki arti Bagusi
ati, disini beliau menjelaskan bahwa untuk menjadi putra raja dia harus memiliki
kebaikan hati. ‘Raden’ raden disini memiliki arti sebagai tanda marga. Gelar
selanjutnya adalah ‘mas, beliau memberi penjelasan bahwa kata mas
disini berarti logam, dalam unsur periodik kimia, mas termasuk dalam logam
mulia. Sehingga kata mas bisa berarti mulia. Suryo, suryo
disini berarti matahari. Beliau menjelaskan nama suryo disini, diharapkan bisa
menjadi penerang, madhangi dalan. Diharapkan ia akan bisa menjadi
penerang bagi sesamanya. Kemudian nama Beliau yang terakhir adalah Bandono,
bandono atau bandana disini berarti pengikat. Dalam pemahaman jawa,
diaharapkan yang menyandang nama tersebut dapat menjadi pengikat. Maka tidak
ada kesenjangan sosial diantaranya. Serta diharapkan agar bisa mengayomi
sesamanya. Selain pemaknaan nama seperti yang telah Beliau jelaskan, Beliau pun
memaknainya bahwa untuk menjadi penerang maka dekatlah dengan yang memiliki
cahaya dari sang surya tersebut.
Nama Gusti Raden Mas Suryo Bandono pun berganti menjadi
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger setelah Beliau disunat. Nama beliau pun
memiliki arti yang luas. ‘Kanjeng’ disini adalah gelar untuk orang yang
ditinggikan atau dilebihkan. ‘Gusti’ berarti bagusi ati. ‘Pangeran’ berarti
mneunggu. ‘Haryo’ menunjukkan marga dan ‘puger’ berarti aturan. Beliau
mengartikannya secara umum bahwa untuk menjadi keturunan darah biru, mereka
tidak boleh semena-mena dalam bertindak. Mereka jusrtu memiliki aturan-aturan
yang harus mereka patuhi.
Selain itu Beliau pun menjelaskan tentang arti kata
“bangsawan” dengan bijak. Menurut Beliau kata ‘Bangsawan’ memiliki arti orang
yang mau membantu serta peduli kepada sesamanya. Sehingga untuk menjadi
bangsawan tidak perlu lahir dari keturunan ningrat. Semua bisa menjadi
bangsawan jika mereka mau membantu sesamanya.
B.
Adat Jawa
Adat jawa merupakan suatu kebiasaan yang sifatnya
turun-temurun dari masyarakat terdahulu. Sebagian dari masyarakat Jawa masih
menjalankan tradisi atau adat yang berlaku serta dipelopori oleh masyarakat
jawa. Disisi lain, banyak masyarakat jawa yang berangsur-angsur meningggalkan
kebiasaan moyang mereka. Kebiasaan, adat serta ritual masyarakat Jawa ini
ternyata syarat akan makna dan filosofi. Misalkan saja suatu ritual yang jawa
yang menggunakan ‘ingkung’ sebagai simbol jika mereka akan melakukan
sesuatu kegiatan besar.
Gusti Haryo Puger menjelaskan bahwa ‘ingkung’
merupakan simbol dari adanya manusia. Bentuk penyajian ‘ingkung’ sendiri
unik. Bentuk ‘ingkung’ tersebut seperti orang yang sujud. Ingkung disini
berarti manusia hakikatnya tidak memiliki daya apapun dan mereka masih
mengharap pertolongan serta harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Selain
itu, ada pula ritual atau adat jawa yang mewajibkan adanya ‘jajanan pasar’
dalam suatu kegiatan. ‘jajanan pasar’ disini memiliki arti ‘reno-reno’,
maksudnya adalah bermacam-macam. Biasanya ‘jajanan pasar’ disajikan
untuk dibagikan pada saat ulangtahun, atau bertepatan pada tiron atau weton
mereka. Kata bermacam-macam disini berarti bahwa, masih banyak yang bisa kita
pilih dalam menjalani kehidupan. Gusti Puger pun menjelaskan arti dibalik
jenang abang putih dalam adat jawa. Jenang abang disini berarti simbol
dari nafsu. Abang yang berarti merah dan putih berarti putih. Merah
adalah simbol dari keburukan dan putih adalah kebaikan. Selain untuk ritual
selamatan orang yang akan melahirkan dengan membagi-bagikannya kepada tetangga,
jenang abang pun sering ditemui dalam masyarakat jawa sebagai sesaji dalam
ritual pernikahan dan kematian.
Sistem suku atau kerajaan saat ini telah berubah menjadi
sistem birokrasi. Sistem yang dulu dipimpen oleh seorang raja, kini berubah
menjadi sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang presiden. Semakin
berjalannya waktu, keberadaan keraton semakin meredup. Banyak dari masyarakat
terutama para generasi muda tidak mengenal keberadaan serta kejayaan
keraton-keraton sebagai pusat pemerintahan pada masa silam. Ini yang
dikecewakan oleh Kanjeng Gusti Haryo Puger menghadapi situasi perkembangan
jaman yang justru menjauhkan para generasi muda dari budaya serta sejarah.
Gusti Puger pun mengungkapkan kekecewaannya atas perubahan para pejabat yang
berasal dari keraton. Beliau melihat adanya rasa ketidakpedulian lagi atas
keraton yang telah mendidik moral mereka.
Budaya merupakan warisan yang sudah seharusnya dijaga dan
dilestarikan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya dan
berani mempertahankan budayanya dalam situasi apapun.
Keraton adalah suatu simbol
kejayaan yang pernah dimiliki oleh bangsa. Jika kita mau melihat lebih dalam
lagi, kekuasaan keraton melebihi kekuasaan bangsa indonesia saat ini. maka
sudah sepantasnya kita menjaga serta menjaga keutuhan saksi kejayaan tersebut.
Sebagai generasi muda sudah semestinya jika kita lebih merbangga diri atas
cipta, rasa, karsa budaya yang kita miliki. Banyak pelajaran hidup yang dapat
kita petik dalam setiap budaya yang tercipta.
Penulis hanya bisa
memberikan penyajian sebatas kemampuannya. Sehingga hanya satu yang diharapkan
oleh penulis, laporan ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca untuk melihat
sejarah lebih dalam serta tetap menjadi pembelajar serta pembaca sejati. Satu
ungkapan yang berhasil dikutip oleh penulis
“ Mencari ilmu itu sampai ke liang lahat, maka jika kita
belum masuk ke liang lahat, berarti kita belum pandai”
_Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo Puger
0 comments:
Posting Komentar