RSS

Kamis, 02 Januari 2014

Bahagia Menjadi Gula

Malam ini, heniing begitu tenang. Hanya ada aku dan jiwa dibawah rembulan. Hanya ada aku dan malam. Kami bersaksi. Saksi atas indah serta sunyinya malam yang lebih indah dari hanya sekedar menyadari datangnya malam. Ribuan malaikat seakan sedang sibuk malam ini, Langit begitu cerah. Sekelilingku memang tak ada lagi kehidupan, tapi diatas sana dilangit-langit itu, aku lihat malaikat-malaikat sedang duduk melingkar, entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya mereka sedang merembukkan sesuatu. Entahlah, terserah mereka, biarkan aku malam ini habis dalam lamunan dan kekuatan rasaku. Perlahan tapi pasti bulan mulai meninggi. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, lelahkah atau memang saatnya untuk kembali jalankan tugas yang lain. Yang jelas ia meninggalkanku.

Aku tetap bertahan dalam sunyi antara aku dan waktu. Pengembaraan makna dalam pengembaraan hidup.
Seperti biasa, aku selalu dapat merangkaikan mimpi dari satu bagian ke bagian lain. Dan dalam mimpi aku dapat memutarnya kembali tanpa terlewat satu pun. Ini yang mengambang dalam angan, ini yang aku pikirkan tentang “Gula”, mengapa harus gula, aku pun tak tahu. Yang jelas gulalah yang aku lihat saat itu...
Tak banyak yang tahu, tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirop. Ada kecemburuan sosial disini. Mengapa harus sirop dan mengapa tidak dengan gula pasir.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa jika selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dalam waktu yang sama, ia dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, “Ini teh manis.” Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan ‘kopi gula pasir’. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti. Ia tak pernah disebut, ia lebih sering dipanggil, roti selai nanas, keju, coklat dll.
Gula pasir merasa jika dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirop.

Dari segi eksistensi, sirop tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, “Ini es sirop.” Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, “Es sirop mangga, es sirop lemon, kokopandan, ” dan seterusnya.
Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirop, “Andai aku seperti kamu.”

Sosok gula pasir dan sirop merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat manusia. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.
Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Ini yang kemudian harus terpatri pada diri gula dan manusia. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirop dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, “Andai aku seperti sirop!”
....,,aku terjatuh menimpa bantalku yang mungkin sedari tadi telah menungguku.
Wallahu a'lam..

Kediri, 14 Oktober 2013

0 comments:

Posting Komentar