Malam ini, heniing begitu tenang. Hanya ada aku dan jiwa dibawah
rembulan. Hanya ada aku dan malam. Kami bersaksi. Saksi atas indah serta
sunyinya malam yang lebih indah dari hanya sekedar menyadari datangnya
malam. Ribuan malaikat seakan sedang sibuk malam ini, Langit begitu
cerah. Sekelilingku memang tak ada lagi kehidupan, tapi diatas sana
dilangit-langit itu, aku lihat malaikat-malaikat sedang duduk melingkar,
entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya mereka sedang
merembukkan sesuatu. Entahlah, terserah mereka, biarkan aku malam ini
habis dalam lamunan dan kekuatan rasaku. Perlahan tapi pasti bulan mulai
meninggi. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, lelahkah atau
memang saatnya untuk kembali jalankan tugas yang lain. Yang jelas ia
meninggalkanku.
Aku tetap bertahan dalam sunyi antara aku dan waktu. Pengembaraan makna dalam pengembaraan hidup.
Seperti
biasa, aku selalu dapat merangkaikan mimpi dari satu bagian ke bagian
lain. Dan dalam mimpi aku dapat memutarnya kembali tanpa terlewat satu
pun. Ini yang mengambang dalam angan, ini yang aku pikirkan tentang
“Gula”, mengapa harus gula, aku pun tak tahu. Yang jelas gulalah yang
aku lihat saat itu...
Tak banyak yang tahu, tak ada yang lebih
gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari
olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk
sejenisnya yang bernama sirop. Ada kecemburuan sosial disini. Mengapa
harus sirop dan mengapa tidak dengan gula pasir.
Masalahnya
sederhana. Gula pasir merasa jika selama ini dirinya tidak dihargai
manusia. Dimanfaatkan, tapi dalam waktu yang sama, ia dilupakan begitu
saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi
manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu.
Manusia cuma menyebut, “Ini teh manis.” Bukan teh gula. Apalagi teh gula
pasir.
Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan
kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan ‘kopi gula
pasir’. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya
dicampur berbagai adonan kue dan roti. Ia tak pernah disebut, ia lebih
sering dipanggil, roti selai nanas, keju, coklat dll.
Gula pasir
merasa jika dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma
disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit
pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya
yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan
sirop.
Dari segi eksistensi, sirop tidak hilang ketika
bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, “Ini es
sirop.” Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan
jatidiri yang lebih lengkap, “Es sirop mangga, es sirop lemon,
kokopandan, ” dan seterusnya.
Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirop, “Andai aku seperti kamu.”
Sosok
gula pasir dan sirop merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang
giat berbuat banyak untuk umat manusia. Sadar atau tidak, kadang ada
keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai
yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.
Kalau
saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap
tersembunyi. Ini yang kemudian harus terpatri pada diri gula dan
manusia. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirop
dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat
kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, “Andai
aku seperti sirop!”
....,,aku terjatuh menimpa bantalku yang mungkin sedari tadi telah menungguku.
Wallahu a'lam..
Kediri, 14 Oktober 2013
0 comments:
Posting Komentar