RSS

Kamis, 02 Januari 2014

Angin Bisu di Akhir Musim

Begitu cerah tapi begitu sejuk, begitu terik tapi begitu dingin. Inilah kota yang selalu kurindu saat berada di kampung halaman. Entah mengapa bukan kota kelahiran yang membuatku kerasan berlama-lama hanya untuk sekedar menikati keindahan alam. Hari ini aku tak ingin apapun. Yang aku inginkan hanya menikmati kota yang sekarang menjadi tempat tinggal sementaraku. Mungkin sementara mungkin tidak. Terlalu banyak yang sudah terlukis dalam kanvas putihku saat pertama kali kaki mendarat dikota dingin yang bertengger diatas gunung ini.

Bermacam warna tertoreh, entah lembut entah kasar dalam memoriku. Harusnya semenjak lahir, tumbuh, dan beranjak remaja adalah waktu yang tidak singkat untuk membangun gedung memori yang tak akan pernah runtuh ditelan masa. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat mudah untuk membentuk karang kenangan. Dan masa dewasa adalah masa dimana kita tidak hanya mengandalkan memori sebagai modal menjalani bebatuan hidup.

Dua tahun sudah aku tinggal dan ngglandang mencari hikmah di kota dingin ini. Deru tangis hingga sorak sorai
kegirangan aku rasakan. Merantau untuk mencari suatu yang tak aku tahu, mencari yang masih nyelempit di
sudut-sudut kota tak dikenal. Katanya jika waktu terasa begitu cepat, berarti ada banyak yang terlewatkan. Anak desa masuk kampus tahun 2011, kini telah sampai diujung semester empat. Ggrrrr.. biasaaah.. Akhir semester empat adalah masa dimana anak ayam harus dilepas orang tuanya untuk mencari makan sendiri. Bagiku bukan berarti lagi perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki, meski aku terlahir dari rahim suci ibuku sebagai perempuan, lantas aku harus tetap ngatong(menengadahkan tangan) kepada orang tua meminta uang saku sebelum menikah. Tidak, sama sekali aku tidak menginginkan hal itu terus-terusan membodohiku.

Harus aku akui, bertahun-tahun aku berada di posisi aman dan nyaman dalam hidup. Kini sudah saatnya aku bergeser, beranjak dari posisi yaman itu. Beranjak hingga aku dapatkan kesempurnaan dalam hidup. Hidup akan tak ada artinya kalau kita tidak dapatkan sesuatu yang bisa membuat kita menjadi seorang pemikir. Buat apa Tuhan capek-capek memberikan otak kepada manusia, yang pada akhirnya tidak difungsikan oleh manusia.

Cobaan hidup adalah hal mutlak yang tidak bisa dihindarkan lagi oleh manusia. Segala yang membuat kita berpikir sesungguhnya adalah suatu hal yang menguntungkan bagi kita. Coba bayangkan jika manusia tidak diuji, dengan bermacam masalah, seluruh organ tubuhnya seakan mati. Yang artinya telah menyalahi pemberian tuhan yang Cuma-cuma itu. Ada teman yang sedang kesulitan menbayar kos, itu cobaan. Selanjutnya kita berpikir, bagaimana caranya teman bisa tertolong. Misalnya lagi teman tak dapat memahami materi dengan baik, sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, wajib bagi mereka membantunya. Setidaknya manusia mampu membangun mindsetnya dengan memposisikan masalah orang lain, menjadi masalahnya sendiri. Mengaca kepada kehidupan negara kita Indonesia, jika semuanya berpikir demikian, mereka tidak akan pernah mau sedikitpun menyentuh hak orang lain.

lanjut ke status sementaraku sebagai anak semester empat menuju semester lima. Kalu dipikir-pikir, hanya berapa persen yang aku dapatkan dari bangku kuliah dibanding diluar kuliah. Apalagi tentang kehidupan. Dibangku kuliah pelajaran yang satu ini tidak aku dapatkan sama sekali. Apalagi tolong menolong. Yang satu ini seakan diharamkan oleh para dosen, terlebih mahasiswanya. Yang dosen ingin tahu seberapa pandai mahasiswanya menjawab soal-soalnya tanpa nyontek. Sedangkan mahasiswa ngotot, bagaimana caranya ia dapatkan nilai A. Mereka sama-sama mendewakan individualistis. meski hal itu tak semua terjadi pada tiap mahasiswa.

Ditengah tengah kesibukan mereka yang didorong oleh ambisi tinggi, aku pun terlelap dalam kedamaian. Bodohnya otakku pun menyimpulkan, bahwa kuliah hanya memenuhi ritual wajib nan sakral, yaitu mengisi absensi. Absensi seakan menjadi benda keramat yang jika tertinggak satu saja, dunia seakan kiamat bagi mereka. Ya Allah.. kenapa aku tidak Engkau jadikan seperti mereka yang ambisi nilai A sehingga seakan hidupku terjamin oleh huruf "A" itu. Kalau aku menjadi seperti mereka, aku ndak perlu repot-repot tidur dikelas.

Setidaknya hidup itu sama-sama. Merasakan sakit saat teman sakit, merasa tertampar saat teman tertampar.
Inilah arti hidup yang hanya bisa aku pahami saat aku menanggalkan status mahasiswaku. lek niat nulong ya karena dulur. Semua berjalan bukan tanpa alasan. Kebetulan sungguh sulit untuk didefinisikan. Maka kesempatan untuk podo-podo (saling) dengan orang lain jangan sampai terlewatkan. Mencari dan mau menerima segala bentuk masalah, adalah satu kunci untuk kita jalankan titah Tuhan pada kita.
Waalahu ‘alam

Malang,
24/06/2013 11:55

0 comments:

Posting Komentar