Segala
kepatuhan yang telah dijalani selama satu tahun agaknya hanya sebagai sebuah
pemenuhan kewajiban saja. Mereka menganggap bahwa peraturan-peraturan ini hanya
berlaku untuk satu tahun saja. Setelah
itu mereka bagaikan ayam yang keluar dari kandangnya, bagai burung keluar dari
sangkarnya. Bebas jiwanya. Apakah pembelajaran agama mulai dari fiqh
hingga akhlak selama ini bisa dikatakan berhasil?. kalau sudah begini
kebanyakan orang menjawab “tergantung pada(depend on)”. Tergantung diri
masing-masing (depend on itself)
lah, tergantung hidayah Allah(depend on God’s guidance) lah. Tapi yaa..
memang begitulah kenyataannya.
Ada yang bilang kalau input itu pasti
sesuai dengan outputnya. Statement itu bisa berubah tergantung
pada kemauannya sendiri untuk berubah dan tetap saja ada campur tangan dari
Tuhan didalamnya, yang berupa Hidayah. Bukan orang yang bernama Hidayah
loh ya.. beda. jadi dua hal itu begitu berpengaruh pada diri seseorang.
Pernyataan itu berbeda dengan misalkan saya contohkan dengan sesorang yang
dulunya berada pada naungan pondok pesantren yang memiliki peraturan yang
begitu mengikat. Dengan status mereka sebagai santri asli yang berada di
pesantren asli pula atau tanpa dinaungi oleh lembaga lain, mereka akan memiliki
ruang gerak yang sedikit terbuka jika mereka masuk dalam pesantren mahasiswa(dalam
hal ini adalah ma’had), yang didalamnya memiliki kebijakan yang disesuaikan
dengan keadaan mahasiswa atau kampus, dan statusnya pun berubah tidak lagi
santri asli tapi mahasantri. Ini hanya masalah perubahan status dari santri
asli, yang saya sebut dengan inputnya, yang kemudian masuk dalam
lingkungan pondok dalam kampus menjadi mahasantri. Itu pun tak menjamin
hasilnya akan berbanding lurus dengan outputnya. Mahasantri yang dulunya
adalah santri asli tersebut bisa tetap menjadi santri yang taat dan bahkan
tidak menyukai lingkungan yang dirasa kurang kental aroma pesantrennya. Ada
juga yang lebih senang tinggal di ma’had dibanding dengan pondoknya dulu dan
cenderung terbawa lingkungan.
Mengingat
peraturan yang dipaku pada dinding ma’had, yang kesemuanya itu pasti mengacu
dan mengarah pada terwujudnya insan-insan kamil menurut agama, tak sedikit dari
sasaran peraturan dalam hal ini adalah mahasantri, mayoritas dari mereka merasa
bahwa segalanya ini merupakan kekangan bahkan sebagian dari mereka pun mungkin
merasa bahwa ini adalah pemaksaan secara tak manusiawi. Wiiich.. dalam salah
satu peraturan yang ada adalah semua mahasantri yang masuk ma’had harus memakai
pakaian yang sopan yang sesuai syariat islam dan harus memakai rok dan
dilarang memakai celana pensil dalam setiap aktifitas di lingkungan ma’had dan
tak lupa untuk terus memakai jilbab setiap harinya. Bahkan untuk keluar kamar
pun mahasantri harus memakai jilbab walaupu masih di dalam gedung ma’had putri.
Dilarang pacaran/hanya berdua-duaan bukan muhrim. Itu adalah beberapa peraturan
yang tertulis dengan huruf capital dengan warna merah yang artinya sangat
ditekankan untuk dipatuhi. Nah, yang membuatku heran saat ini adalah
peraturan-peraturan itu seakan hanya sebuah papan bisu yang tak memiliki
kekuasaan lagi untuk mengatur. Mereka
mengabaikan segala peraturan yang selama satu tahun lamanya telah mereka patuhi.
Tapi ini hanya mayoritas, sekalilagi mayoritas, yang artinya tidak semuanya
mengabaikan peraturan yang ada. Tak peduli dulu, sekarang dan nanti.
Yang
membuatku merasa ingin tertawa geli adalah saat keluar dari ma’had. Aku melihat
Para mahasantri atau bisa disebut dengan mantan mahasanteri lah, yang mengerti
betul akan peraturan bahwa dilarang memakai celana pensil(celana ketat
sampai-sampai menunjukkan bentuk kaki) itu ternyata memakainya layaknya seorang
model yang meliuk-liuk diatas catwalk. Mereka pun berani masuk gedung
asrama putri dengan alasan inikan sudah keluar dari ma’had jadi peraturan sudah
tidak berlaku lagi. Anehnya para musyrifah yang dulu sangat mengecam
adanya benda yang disebut celana pensil itupun diam seribu bahasa melihat
kejadian yang ironis itu. Malahan mereka pun ada juga yang berani memakai
celana, padahal untuk para musyrifah dalam situasi dan kondisi apapun sangat
dianjurkan untuk memakai rok. Mungkin otak mereka pun sama-sama berkata”inikan
sudah keluar dari ma’had dan peraturan hanya berlaku saat masih dalam pembelajaran
di ma’had. Jadi sah-sah saja jika memakai celana untuk musyrifah, dan celana
pensil untuk para mahasantri”. Yah, kalo sudah begini ya.. mau gimana lagi, toh
mereka juga sudah pada gede. Pertanyaannya adalah apakah hukum agama itu
terbatas oleh waktu?. Nah lo, jawabannya pasti Kembali lagi pada kata
“tergantung pada(depend on)” tadi.
Bukankah
semua sudah jelas yang mana yang baik
dan mana yang salah. Bukan maksudku untuk menjustifikasi bahwa yang memakai rok
itu lebih baik daripada yang memakai celana yang modelnya seperti pensil itu.
Tidak seperti itu. Tulisan ini hanya menggambarkan memvisualisasi realita yang
terjadi pada saat itu. Dan sekali lagi ini hanya mayoritas, yang artinya tidak
semuanya terlibat dalam hal ini. Bukankah “Allah melihat dan menilai manusia
hanya berdasarkan taqwaannya”. Semoga kita tetap pada lindungan dan
ridlo-Nya disetiap kaki kita melangkah.
Wallahu
A’lam……
Malang,
30 June 2012
Di
ruang yang kan selalu terkenang
Asrama
putri, (ABA Dormitory, MSAA(Ma’had Sunan Ampel Al ‘Aly)) UIN Malang
0 comments:
Posting Komentar