RSS

Senin, 05 November 2012

Seketika Rok Menjadi Pensil Setelah Satu Tahun


Segala kepatuhan yang telah dijalani selama satu tahun agaknya hanya sebagai sebuah pemenuhan kewajiban saja. Mereka menganggap bahwa peraturan-peraturan ini hanya berlaku  untuk satu tahun saja. Setelah itu mereka bagaikan ayam yang keluar dari kandangnya, bagai burung keluar dari sangkarnya. Bebas jiwanya. Apakah pembelajaran agama mulai dari fiqh hingga akhlak selama ini bisa dikatakan berhasil?. kalau sudah begini kebanyakan orang menjawab “tergantung pada(depend on)”. Tergantung diri masing-masing  (depend on itself) lah, tergantung hidayah Allah(depend on God’s guidance) lah. Tapi yaa.. memang begitulah kenyataannya.
 Ada yang bilang kalau input itu pasti sesuai dengan outputnya. Statement itu bisa berubah tergantung pada kemauannya sendiri untuk berubah dan tetap saja ada campur tangan dari Tuhan didalamnya, yang berupa Hidayah. Bukan orang yang bernama Hidayah loh ya.. beda. jadi dua hal itu begitu berpengaruh pada diri seseorang. Pernyataan itu berbeda dengan misalkan saya contohkan dengan sesorang yang dulunya berada pada naungan pondok pesantren yang memiliki peraturan yang begitu mengikat. Dengan status mereka sebagai santri asli yang berada di pesantren asli pula atau tanpa dinaungi oleh lembaga lain, mereka akan memiliki ruang gerak yang sedikit terbuka jika mereka masuk dalam pesantren mahasiswa(dalam hal ini adalah ma’had), yang didalamnya memiliki kebijakan yang disesuaikan dengan keadaan mahasiswa atau kampus, dan statusnya pun berubah tidak lagi santri asli tapi mahasantri. Ini hanya masalah perubahan status dari santri asli, yang saya sebut dengan inputnya, yang kemudian masuk dalam lingkungan pondok dalam kampus menjadi mahasantri. Itu pun tak menjamin hasilnya akan berbanding lurus dengan outputnya. Mahasantri yang dulunya adalah santri asli tersebut bisa tetap menjadi santri yang taat dan bahkan tidak menyukai lingkungan yang dirasa kurang kental aroma pesantrennya. Ada juga yang lebih senang tinggal di ma’had dibanding dengan pondoknya dulu dan cenderung terbawa lingkungan. 
Mengingat peraturan yang dipaku pada dinding ma’had, yang kesemuanya itu pasti mengacu dan mengarah pada terwujudnya insan-insan kamil menurut agama, tak sedikit dari sasaran peraturan dalam hal ini adalah mahasantri, mayoritas dari mereka merasa bahwa segalanya ini merupakan kekangan bahkan sebagian dari mereka pun mungkin merasa bahwa ini adalah pemaksaan secara tak manusiawi. Wiiich.. dalam salah satu peraturan yang ada adalah semua mahasantri yang masuk ma’had harus memakai pakaian yang sopan yang sesuai syariat islam dan harus memakai rok dan dilarang memakai celana pensil dalam setiap aktifitas di lingkungan ma’had dan tak lupa untuk terus memakai jilbab setiap harinya. Bahkan untuk keluar kamar pun mahasantri harus memakai jilbab walaupu masih di dalam gedung ma’had putri. Dilarang pacaran/hanya berdua-duaan bukan muhrim. Itu adalah beberapa peraturan yang tertulis dengan huruf capital dengan warna merah yang artinya sangat ditekankan untuk dipatuhi. Nah, yang membuatku heran saat ini adalah peraturan-peraturan itu seakan hanya sebuah papan bisu yang tak memiliki kekuasaan lagi untuk mengatur.  Mereka mengabaikan segala peraturan yang selama satu tahun lamanya telah mereka patuhi. Tapi ini hanya mayoritas, sekalilagi mayoritas, yang artinya tidak semuanya mengabaikan peraturan yang ada. Tak peduli dulu, sekarang dan nanti.
Yang membuatku merasa ingin tertawa geli adalah saat keluar dari ma’had. Aku melihat Para mahasantri atau bisa disebut dengan mantan mahasanteri lah, yang mengerti betul akan peraturan bahwa dilarang memakai celana pensil(celana ketat sampai-sampai menunjukkan bentuk kaki) itu ternyata memakainya layaknya seorang model yang meliuk-liuk diatas catwalk. Mereka pun berani masuk gedung asrama putri dengan alasan inikan sudah keluar dari ma’had jadi peraturan sudah tidak berlaku lagi. Anehnya para musyrifah yang dulu sangat mengecam adanya benda yang disebut celana pensil itupun diam seribu bahasa melihat kejadian yang ironis itu. Malahan mereka pun ada juga yang berani memakai celana, padahal untuk para musyrifah dalam situasi dan kondisi apapun sangat dianjurkan untuk memakai rok. Mungkin otak mereka pun sama-sama berkata”inikan sudah keluar dari ma’had dan peraturan hanya berlaku saat masih dalam pembelajaran di ma’had. Jadi sah-sah saja jika memakai celana untuk musyrifah, dan celana pensil untuk para mahasantri”. Yah, kalo sudah begini ya.. mau gimana lagi, toh mereka juga sudah pada gede. Pertanyaannya adalah apakah hukum agama itu terbatas oleh waktu?. Nah lo, jawabannya pasti Kembali lagi pada kata “tergantung pada(depend on)” tadi.
Bukankah semua sudah jelas yang mana yang  baik dan mana yang salah. Bukan maksudku untuk menjustifikasi bahwa yang memakai rok itu lebih baik daripada yang memakai celana yang modelnya seperti pensil itu. Tidak seperti itu. Tulisan ini hanya menggambarkan memvisualisasi realita yang terjadi pada saat itu. Dan sekali lagi ini hanya mayoritas, yang artinya tidak semuanya terlibat dalam hal ini. Bukankah “Allah melihat dan menilai manusia hanya berdasarkan taqwaannya”. Semoga kita tetap pada lindungan dan ridlo-Nya disetiap kaki kita melangkah.
Wallahu A’lam…… 

Malang, 30 June 2012
Di ruang yang kan selalu terkenang
Asrama putri, (ABA Dormitory, MSAA(Ma’had Sunan Ampel Al ‘Aly)) UIN Malang

0 comments:

Posting Komentar